Pada “tempo doeloe” menarik jenazah ke pemakaman dengan roto Gaja Lumpat dimulai setelah upacara pemberangkatan selesai di halaman (alaman silangse utang), saat sebelum makan siang. Doal sitingguang di langit, tawak-tawak, bedil, lelo dan gondang dibunyikan beraturan pertanda jenazah almarhum akan dibawa ke pemakaman (biasanya lokasi pemakaman diluar huta).
Begitu Raja Panusunan Bulung mengakhiri pidato pemberangkatan (dibaen ibana do sitiop tali piruntun na mangkolting songon tali, na mambobok songon soban dengan ucapan: sada, dua, tolu, opat,
Andainya dimasa hidup almarhum ada selisih dengan orang sakit hati yang tidak diselesaikan semasa hayat, maka mereka-mereka yang termasuk barisan sakit hati akan menghela roto dari belakang, berlawanan dengan mereka yang menarik dari muka/depan. Tata cara ini dibenarkan secara adat, dan dengan demikian diharapkan perselisihan dan sakit hati antara yang masih hidup dengan yang meninggal dapat ter-“selesai”kan sebelum jenazah almarhum dimakamkan.***
Kendaraan jenazah roto Gaja Lumpat sama bentuk dan modelnya dengan Gaja Lumpat model gajah-gajahan yang dipakai dalam upacara ma-mele dengan korban manusia di Luat Sipirok pada masa sebelum agama monotheisme masuk ke napa-napa ni Sibualbuali.
Sangatlah ramai dan menjadi pembicaraan hangat masyarakat di Luat Sipirok kejadian tahun 1902 tatkala almarhum Sutan Martua Kepala Kuria Parausorat dimakamkan dengan upacara Gaja Lumpat. Kebetulan sebelum almarhum meninggal orang Sipirok berbantahan dengan orang-orang Parausorat, karena orang-orang Sipirok meminjam piring, mangkuk, garpu dan sendok.
Sementara tetamu masih ada di Sipirok dan memakai peralatan yang dipinjam, oleh orang Parausorat sudah diminta untuk dikembalikan. Tentu saja orang-orang Sipirok merasa diper-“malu”
Dan tidak mengherankan terjadilah tarik-tarikan seperti anak-anak bermain tali. Dari bagian muka menarik/menghela tali maldo (sejenis rotan sepanjang ± 10 meter) beramai ramai dengan tujuan agar jenazah secepatnya sampai di lokasi pemakaman luar “huta” (sopo dibalian). Sementara dari bagian belakang sekuatnya menarik dan menahan tali maldo yang panjangnya juga ± 10 meter dengan tujuan agar tertunda pemakamannya.
Kejadian berlangsung dari jam 9.00 pagi sampai sore hari jam 16.00. Roto Gaja Lumpat yang membawa jenazah marhum Sutan Martua Kepala Kuria Parausorat masih tetap di lapangan depan rumah Kepala Kuria (alaman silangse utang) seperti semula. Bergeser kedepan sedepa, ditarik kebelakang dua depa oleh orang-orang Sipirok, begitu seterusnya mundur maju. Penarik dan yang menahan pendukung Kuria Parausorat dan Baringin Tumburjati kontra Kuria Sipirok, silih berganti namun situasi tidak berubah, dan nampaknya tidak ada yang mau mengalah.
Melihat situasi yang menegangkan dan aneh itu, Pemerintah Kolonial Belanda campur tangan yaitu Conteleur dan Asisten Residen (setingkat Camat dan Pembantu Bupati) yang memang ikut hadir dalam upacara pemakaman sebagai menghormati almarhum mewakili Pemerintah. Mereka meminta dengan hormat, agar tarik menarik jenazah diatas roto Gaja Lumpat segera disudahi saja demi kebaikan kedua belah pihak (Kuria Parausorat dan Baringgin Tumburjati disatu pihak, kontra Kuria Sipirok dilain pihak). Namun permintaan itu tidak diacuhkan, dengan alasan “hal seperti ini” dibenarkan, sah-sah saja sepanjang adat (on ma tingkina), dan karenanya tidak perlu dicampuri Pemerintah.
Untunglah kemudian Pendeta P. S. Schutz turun tangan, pendeta tua yang sudah lebih 40 tahun bekerja di Huria Bungabondar. Beliau berkata dengan lemah lembut kepada raja-raja, pemuka-pemuka adat Kuria Parausorat, Kuria Baringin Tumburjati dan juga Kuria Sipirok untuk mengakhiri acara itu dan sebagai penutup beliau berkata: saya berharap pertengkaran ini kita akhiri sajalah, agar kita segera makan siang, saya sendiri sudah lemas dan sangat lapar karena waktu makan sudah lewat. Memang pendeta ini seorang ahli damai, dicintai dan sangat dihormati masyarakat umum di Luat Sipirok. Lalu semua mufakat dan sepakat menarik jenazah marhum Sutan Martua kepemakaman.***
Menurut cerita orang tua-tua “tempo doeloe” Ja Parjanjian (Mangaraja Parjanjian I) mengambil isteri boru Harahap dari Sabungan Julu (daerah Angkola Julu). Itu sebabnya orang Sibadoar mar-bona ni ari tu marga Harahap Sabungan Julu, dan pada waktu merencanakan pembangunan Tugu Gaja Sibadoar, sebelum pekerjaan dimulai, hatobangan Huta Sibadoar sebelumnya memberitahukan serta mohon restu akan niat perbaikan makam/pusara Ja Parjanjian (Mangaraja Parjanjian I) dan isterinya boru Harahap. Seterusnya diceritakan tatkala boru Harahap dari Sabungan Julu datang sebagai “boru” (pengantin) ke Sibadoar, memakai kendaraan/menaiki seekor gajah putih, dan konon sempat diikat (ditambat) di lokasi Tambatan Gaja agar supaya gajah itu tidak ngeluyur kemana-mana.
Barangkali saja upacara Gaja Lumpat yang diadakan sekali setahun pada zaman “hasipele beguon”, masa sebelum agama monotheisme masuk ke Luat Sipirok, dan atau kedatangan boru Harahap dari Angkola Julu naik gajah putih sebagai boru (pengantin) ke Sibadoar ada kaitannya dengan nama Tambatan Gaja.
Huta Sibadoar “tempo doeloe” ada penjaganya yang dikenal dengan nama “pangulubalang”, konon satu-satunya huta di Luat Sipirok na mar pangulubalang. Pangulubalang adalah patung batu (di gorga) bentuk manusia mini. Konon patung itu sebelumnya “di-isi” dengan jasad manusia yang sengaja dikorbankan dan diolah sedemikian rupa khusus untuk membuat “pangulubalang”. Pangulubalang pada saat-saat tertentu (periodik) di-pele (diberi makan) oleh majikannya yang menunya berupa padi yang digonseng (bertih), telur ayam kampung, dll. Seandainya majikannya terlambat ma-mele (memberi makan), ada harapan telur ayam sekampung yang sedang dierami akan “bayuhon” (tidak jadi menetas) karena sebelumnya telah disantap oleh pangulubalang.
Roh manusia yang jasadnya ada dalam pangulubalang, dipercaya dapat berfunggsi sebagai penjaga huta. Jika ada musuh (zaman doeloe sering kejadian) mau menyerbu masuk huta, ataupun akan timbul wabah kolera (begu attuk) dan lain-lain bencana, maka sebelumnya oleh pangulubalang akan diberikan peringatan-peringatan dini dengan tanda-tanda umpamanya, semut-semut merah bermunculan disekeliling huta secara menyolok, dan atau tanda-tanda alam lainnya yang tidak lazim, bahkan katanya suara-suara aneh yang bersumber dari pangulubalang. Berdasarkan ini semua (majikannya biasanya cepat tanggap) orang sekampung dapat mengambil tindakan berjaga-jaga (mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya).
Lokasi tempat pangulubalang di jalan-jalan masuk huta Sibadoar, terakhir masih nampak keberadaannya arah jalan ke Pangkal Dolok. Setelah agama monotheisme masuk ke Luat Sipirok, pangulubalang ini tidak lagi secara serius di-pele sebagaimana seharusnya sehingga karenanya hilanglah kharisma/ke-angkerannya dan menjadi tawar serta lama-lama terlupakan.
Iparhanda almarhum St. M. P. Pane (lahir tahun 1935) bercerita pengalamannya tentang pangulubalang. Semasa masih sekolah di Sekolah Rakyat sekitar tahun 1948/1949, pernah datang ke huta Sibadoar seorang tua yang katanya berasal dari Luat Pangaribuan untuk melihat pangulubalang yang ada di huta Sibadoar yang memang cukup beken “tempo doeloe” di seantero Luat Sipirok.
M.P. Pane dengan teman-temannya sepermainan membawa orang tua tadi ke lokasi pangulubalang yang di jalan arah ke huta Pangkal Dolok. Orangtua itu sejenak memperhatikan pangulubalang yang kelihatannya memang kurang terpelihara, dan ia mendekatinya serta mulai menggosok dan menepuk-nepuk bahu pangulubalang.
Tiba-tiba saja tanah sekitar bergetar diikuti suara gemuruh mobil jalan dipendakian, sepertinya ada gempa bumi ringan. Mereka yang masih usia anak-anak tentu saja terkejut dan ketakutan serta lari pulang ke huta meninggalkan orang tua tadi. Bagaimana dan kemana orang tua yang mengaku datan dari Luat Pangaribuan itu tidak diceritakan. Keberadaan pangulubalang Sibadoar hanya tinggal kenangan, dan telah hilang seolah ditelan bumi.
Comments :
Posting Komentar