2) Tatkala berlangsung pembangunan Tugu Gaja sekitar tahun 1977/1978. (
Beliau menceritakan pengalamannya yang aneh, dan sepertinya tidak masuk akal, kejadiannya pada saat dimulainya mencor pundasi dan tiang batu tugu. Hari itu sekitar jam 09.00 pagi yang bercuaca cerah; sementara semen, pasir, kerikil telah siap diaduk dan pekerjaan men-cor akan segera dimulai. Pekerjaan mencor secara teknis harus dirampungkan sekaligus, tidak boleh tersendat-sendat karena hujan atau kekurangan bahan umpamanya. Tanpa diduga dari arah Timur seberang Aek Siguti terdengan suara hujan dan cuaca dilokasi bangunan berubah menjadi mendung yang tadinya cerah.
Oleh Kahar Nasution sesuai ajaran-ajaran orang tua yang diyakininya, segera melaksanakan upacara manyurdu burangir (si mula ni hata), dan memang oleh beliau telah disiapkan sebelumnya. Hakekat acara manyurdu burangir adalah meminta izin kepada mereka-mereka yang dimakamkan ditempat itu, serta memohon/berdoa kepada Tuhan, kiranya mereka yang bekerja mendirikan tugu dan memugar makam diberikan kelapangan dan hari baik, sehingga apa-apa yang mereka kerjakan pada hari itu dapat diselesaikan sesuai rencana. Aneh bin ajaib tetapi memang kenyataan, hujan memang turun lebat, tetapi hanya sebatas sungai, sebatas jembatan Aek Siguti, seolah-olah ada tembok penghalang yang membatasi mereka yang bekerja dengan lokasi jatuhnya hujan, berjarak ± 350 meter dari tempat mereka. Pekerjaan mencor pundasi dan tiang beton tugu dapat diselesaikan pada hari itu tanpa gangguan hujan.
(3). Mengangkat patung Gajah ke pelataran tugu untuk dicor. Patung gajah adalah partisipasi putra-putra Sibadoar yang ada di Pekanbaru. Dengan kendaraan truck yang dipandu oleh M.P.O. Siregar dan Raya Muda Siregar (mewakili putera- putera Sibadoar di Pekanbaru), patung gajah langsung dibawa ke lokasi bangunan.
Kesaksian Kahar Nasution kepala tukang bangunan.
Mereka buruh bangunan dan dibantu beberapa orang seingatnya ± 10 (sepuluh) orang, menurunkan patung gajah dari atas truck, dan mengangkatnya ketempat dudukan yang tesedia (dinaikkan ± 1.5 meter), untuk kemudian akan dicor. Beberapa kali telah dicoba diangkat, diselang-selingi istirahat melepas lelah, namun kenyataan patung gajah tidak dapat dinaikkan ke tempat dudukan yang telah tersedia. Mereka merasa seolah-olah ada tenaga adikodrati yang menahan setiap mereka mencoba mengangkatnya.
Sama seperti kejadian diatas, setelah diadakan upacara manyurdu burangir, setelah ada yang mengingatkan, hanya dengan tenaga 4 (empat) orang saja, patung gajah dapat diangkat ke tempat yang tersedia seolah ada tenaga adikodrati yang membantu, yang tidak berwujud ikut mendorong dan menaikkan patung gajah itu. Tenaga bantuan tanpa wujud, sangat dirasakan keberadaannya, membuat mereka yang hadir di lokasi Tugu sangat heran dan meninggalkan kesan tak terlupakan atas kejadian aneh itu.***
Hubungan binatang gajah dengan Lobu Handis Tambatan Gaja (lokasi tidak jauh dari makam Timba Laut gelar Raja Pande Bosi Ompu ni Hatunggal). Gajah dalam upacara “Gaja Lumpat” di luat Sipirok.
Jauh sebelum kedatangan Islam Bonjol (tingki ni Pidari) pada awal abad ke-19 ke Luat Sipirok, marga Siregar Sipirok telah me-“ngadatkan” (budaya) suatu upacara adat sekali setahun yang dikenal dengan nama upacara “Gaja Lumpat”.
Di belakang Kantor Pos Sipirok yang sekarang (pada zaman Belanda masih berkuasa tempat bangunan parsanggrahan/mess) “tempo doeloe” ada sebuah bukit yang oleh orang Sipirok dikenal dengan nama Dolok Pamelean (bukit tempat ma-mele, tempat memberikan persembahan kepada Debata Mulajadi/Allahewata Sombaon). Disitu tumbuh rumpunan pohon-pohon beringin tua yang rimbun daunnya, menjulang tinggi belasan meter. Dibawah pohon berdiri tegak 3 (tiga) buah batu lingga, satu diantaranya yang di tengah lebih tinggi dari yang lain, lambang kesuburan.
Sekali setahun marga Siregar se-napa-napa ni Sibualbuali mengadakan upacara korban di Dolok Pamelean kepada Allahewata Sombaon dengan maksud dan tujuan agar mereka memperoleh perlindungan dan terhindar dari penyakit terutama “begu attuk” (wabah kolera), serta juga diberikan panen padi dan jagung (makanan pokok) yang melimpah di Luat Sipirok.
Di samping upacara korban, upacara ini dimaksudkan untuk mempererat persatuan dan kesatuan Raja-Raja marga Siregar di Luat Sipirok yaitu: Raja Parausorat, Raja Baringin Tumburjati dan Raja Sipirok. Upacara berlangsung sesudah habis panen (simpul manyabi) dan malam bulan purnama (bulan
Rangkaian upacara korban inilah yang disebut “Gaja Lumpat”, penyertaan nama Gaja karena di dalam upacara, binatang gajah hidup ikut berperan. Pada zaman itu, binatang gajah mudah saja mendatangkannya dari daerah Singkuang – Muara Batang Gadis.
Manusia yang akan dikorbankan terlebih dahulu diteliti dan dipilih dari sejumlah calon yang memang banyak mengajukan diri. Oleh para datu/orang pintar yang bertindak sebagai Panitia Seleksi terdiri dari 3 (tiga) orang masing-masing mewakili Harajaan Parausorat, Baringin Tumburjati dan Sipirok. Suatu kehormatan besar bagi calon korban hasil pemilihan, dan begitu juga kepada keluarga yang ditinggalkan. Hal sedemikian dapat dimengerti di dalam suasana zaman ha-sipelebeguon, paham animis menganut kepercayaan kepada roh-roh yang mendiami sekalian benda, zaman dimana agama monotheisme belum dikenal.
Calon korban hasil seleksi, seorang pemuda tampan, sehat jasmani dan rohani, sebelum sampai di puncak acara, selama 7 (tujuh) hari dan 7 (tujuh) malam di “puja” dan di”rajakan” oleh Raja Parausorat, Baringin Tumburjati dan Sipirok.
Dalam keadaan di-hipnotis/trance pada hari ketujuh di puncak acara, si korban memeluk batu lingga (lambang kesuburan) yang berdiri tegak di bawah pohon beringin (Haruaya), ditusuk dengan tombak Siguam (tombak pusaka marga Siregar Sipirok) dari arah belakang mengenai jantung dan menembus dada korban.
Darah korban yang tumpah membasahi batu lingga (lambang kesuburan) dianggap sebagai sembahan yang pantas diberikan dan berkenan diterima oleh Allehewata Sombaon, yang akan membalasnya dengan berkat dan rahmat berupa terhindarnya Luat Sipirok dari malapetaka “begu attuk” (wabah kolera) dan melimpahnya panen padi dan jagung di napa-napa ni Sibualbuali tano pattis tano barerang (daerah gunung berapi).
Bersamaan dengan terbangnya arwah si korban, diyakini rohnya dengan gembira dan sukacita diterima oleh Allahewata Sombaon. Jenazah si korban dinaikkan ke atas gajah yang sebelumnya dipersiapkan. Badan gajah dihiasi dan dicat dengan 3 (tiga) warna: hitam melambangkan kegelapan (banua toru), merah melambangkan dunia fana, dunia kehidupan yang diidentifikasikan dengan darah (banua
Oleh massa yang membludak, gajah diarak dengan semarak keliling Luat Sipirok dengan rute dari Dolok Pamelean kembali ke Dolok Pamelean, lewat Simaninggir, Pagaranpadang, Pagaranbujur, Baringin Tumburjati, Parausorat, Sialagundi, Batuolang, Hasang, Tor Sidinding Mataniari, Babondar (Bungabondar), Padang Handis Tambatan Gaja, Sampean, Bagas Godang Sipirok dan kembali ke Dolok Pamelean. Jarak yang ditempuh ± 20 kilometer, namun dibutuhkan waktu 3 (tiga) hari 3 (tiga) malam berlangsungnya upacara. Kenapa?..
Jalan gajah sengaja dibuat bengkok-bengkok, dengan harapan jenazah korban diatas gajah tidak dapat diikuti oleh begu (evil spirits), yang rupa-rupanya “tempo doeloe” sangat diperhitungkan kemungkinan gangguannya di Luat Sipirok. Maka begu harus diperdaya dengan membuat jalan gajah bengkok-bengkok. Di Luat Sipirok suasananya seperti pasar malam yang berpindah pindah, sejalan dengan arak-arakan dan jalannya gajah yang bengkok-bengkok.
Tidak heran jika suasananya juga dimanfaatkan pemuda dan pemudi untuk mencari jodoh. Upacara “Gaja Lumpat” juga memakan korban manusia lain karena terinjak-injak gajah, sebab si gajah terus menerus diusik sepanjang perjalanan, agar dia tidak jalan santai dan lempang, yang akibatnya mudah di ikuti begu. Tapi si gajah harus jalan bengkok-bengkok, yang tentu saja sering membuat gajah panik dan mengamuk ke kiri dan kanan serta menabrak manusia-manusia yang didepannya dan atau apa saja yang dianggapnya menggangu.
Setelah Ompu Palti Raja meninggal dunia, Sutan Sayurmatua, Raja Parausorat (sikahangan) mengusulkan supaya gajah hidup diganti saja dengan gajah-gajahan dibuat dari bahan kayu, pakai ekor dan belalai lengkap dengan roda-roda supaya mudah digerakkan. Dibagian depan dan belakang pakai tali bahan maldo (sejenis rotan) yang panjang masing-masing ± 10 meter yang berfungsi sebagai pegangan menarik dan menahan gajah-gajahan secara massal (ramai-ramai).
Pada tahun 1816 upacara Gaja Lumpat dengan korban manusia hidup dilarang bersamaan dengan masuknya agama Islam Bonjol (tingki ni Pidari), Dolok Pamelean (tempat ma-mele dengan manusia sebagai korban kepada Allehewata Sombaon) diratakan, dan pohon beringin besar yang tumbuh diatasnya ditebang dan dibakar habis. Batu lingga yang tegak dibawah pohon Beringin, dicabut dan dihanyutkan ke Aek Sagala.
Sebagai pengganti upacara Gaja Lumpat di Luat Sipirok dikenal upacara pemakaman dengan memakai roto Gaja Lumpat, yaitu kendaraan jenazah saat dibawa kepemakaman dengan adat raja-raja. Upacara pemakaman dengan roto Gaja Lumpat adalah penghargaan tertinggi yang dapat diberikan di Luat Sipirok kepada orang yang sudah tua/dituakan, tokoh pemuka masyarakat, turunan raja-raja, sisuan bulu aor (sipungka huta).
Catatan:
Roto kendaraan pembawa jenazah ke pemakaman dengan tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
1. Roto Gobak, peti jenazah ditutup dengan hombung manolon/hombung manusun.
2. Roto Payung, peti jenazah ditutup dengan hombung rapotan.
3. Roto Gaja Lumpat, peti jenazah ditutup dengan hombung rapotan.
Untuk upacara memakai roto ini, minimal dipotong 3 (tiga) ekor kerbau (sigagat duhut), berturut-turut untuk pelayat yang datang (dapotan ni bayo na ro), untuk adat yang meninggal (borotan) dan untuk tamu yang kembali/pulang melayat (hamulion ni bayo). Sebelumnya diadakan persidangan adat yang dihadiri oleh raja-raja Parausorat, Baringin Tumburjati dan Sipirok. Sidang adat ini akan memberikan pertimbangan/keputusan apakah yang meninggal memenuhi persyaratan sepanjang adat untuk dimakamkan memakai kendaraan roto Gaja Lumpat.
Persyaratan sepanjang adat (
a. tahi ni hasuhuton (waris yang meninggal); dialap tahi kahanggi; didukung anak boru (ditungkoli); direstui mora (sihurtuk tondi); b. dioban harajaon bonabulu (Bondul Na Opat) tu persidangan adat se Luat Sipirok;
c. almarhum meninggal telah lanjut usia; d. gabe dianak, gabe diboru; - madung sae utang dohot tonunna, anak-anaknya telah berumah tangga; - bercucu di anak laki-laki dan perempuan; e. mampu (adong pambahonan); f. ringgas manopot ulaon ni hula dohot dongan, tangi disululuton, inte disiriaon; g. madung sidung sopo di balian, sae adat ni oppung dohot amangna.
Comments :
Posting Komentar